Tuesday, October 2, 2018

Bukan Movie Review: Kenapa Harus Bule?


Bukan review, ini cuma cerita aja. Jadinya sebagian besar adalah pendapat pribadi, murni hasil pandangan sebagai penonton jelata. Yang pasti, beware, spoiler di mana-mana......

Terus terang saya aslinya kurang minat waktu liat trailernya yang sering nongol di halaman utama Viu. Kesan saya adalah semacam, "This is going to be quite cringy."
Pass aja lah, back to drakor, kembali pada niat awal saya menginstal Viu yakni semata-mata hanya untuk nonton drakor. Tapi kenapa akhirnya jadi nonton? Karena baru saja khatam satu serial drakor yang endingnya cheesy dan ngebosenin banget, padahal ratingnya tinggi. Berasa ketipu. KZL. Akibatnya saya gak siap mental untuk menyeleksi ratusan judul drakor yang mau ditonton lagi. Iseng-iseng kemudian saya coba nonton Kenapa Harus Bule? ini sebagai selingan. Cringe dikit-dikit ga pa-pa lah.

Ide dasar film berdurasi satu setengah jam (belum termasuk iklan) ini cukup menarik, tentang seorang perempuan bernama Pipin (Putri Ayudya), yang masih saja single mesti usianya sudah mendekati kepala tiga. Salah satu penyebabnya adalah karena dia terobsesi untuk memiliki pasangan hidup bule. Dalam rangka memenuhi cita-citanya itu, Pipin melakukan segala cara seperti mendatangi kelab malam dan join di aplikasi online dating. Sayangnya lebih sering apes karena bapak-bapak maupun mas-mas bule yang berhasil digaet rata-rata brengsek.

Duh, mbak, ya terang aja... 
cari bule (baca: orang) alim kok di situ

Sampai suatu ketika, Pipin merasa sangat putus asa karena sekali lagi bernasib malang, mendapati bulenya ditekong ayam di sebuah kelab malam. Kemudian dia menelpon sahabatnya, Arik (Michael Kho), sambil nangis-nangis di toilet kelab. Arik yang mendadak harus melek menerima telpon di tengah malam lalu menawari Pipin untuk menambang bule di tempat tinggalnya yakni di Bali. Dia berjanji akan mengenalkan Pipin dengan bule-bule yang lebih waras ketimbang yang biasa ditemukan di kelab malam maupun di aplikasi dating. Aslinya sih, Arik kurang setuju dengan obsesi Pipin akan bule. Dia bahkan diam-diam punya rencana sendiri untuk menjodohkan sahabatnya itu dengan seorang laki-laki lokal yang HQJ a.k.a High Quality Jomblo (diperankan oleh Natalius Chendana).

Baiklah, singkat cerita sesampainya di Bali, si Pipin ini malah kenalan sendiri dengan bule kere asal Italia bernama Gianfranco (Cornelio Sunny). Gimana gak kere, dompet selalu ketinggalan, makan minta dibayarin, naiknya vespa butut.... Pas mogok, Pipin disuruh dorong dan dimintain duit bensin. Lucunya, Pipin pasrah aja diperlakukan bule model begitu.

Suatu ketika, kerabat dari pria HQJ tadi menyebut Pipin shallow dan racist. 
Langsung dibelain lah sama sang HQJ. 
Tapi kalo menurut saya sih ya emang bener shallow kok tuh si embak.

Oke next.
Ternyata si Mas HQJ tadi adalah teman masa kecil yang udah lama menaruh hati pada Pipin. Nah alur cerita selanjutnya relatif gampang ditebak lah. Mas HQJ banyak nolongin dan belain Pipin diam-diam. Trus Pipin akhirnya meninggalkan Gianfranco karena literally super kere (plus ketahuan kalau dia bakal dimanfaatin untuk memuluskan urusan imigrasi.) Pipin yang sudah insyaf kemudian menyadari bahwa Mas HQJ yang asli lokal itulah sebetulnya pria sejati yang selama ini ia cari. Plotnya sempet dibikin seolah menegangkan karena setelah nyusul jauh-jauh ke sebuah tempat di pelosok, jatuh bangun pakai high heels di pematang sawah, Pipin menemukan Mas HQJ terlihat berjalan ke altar pernikahan menggandeng seorang wanita bule.

Tapi ya namanya film, cukup dengan Pipin yang ngos-ngosan menghentikan prosesi pernikahan demi bisa pidato menyatakan cinta, segalanya mendadak happy ending. Semua orang gembira berbahagia dengan pasangan masing-masing, baik yang jenisnya beda maupun sama. Lalu film ditutup dengan adegan kissing antara Pipin dan Mas HQJ. Holiwud banget *rolling eyes*. Maka ide yang anti mainstream ini pun akhirnya dipungkasi dengan cara yang mainstream.

Saya sebetulnya ngarep banget ending di mana si Pipin beneran ditinggal kawin oleh Si Mas HQJ akibat kebodohannya sendiri.

Nah jadi ini adalah film ringan yang saya gak bakalan mau keluar duit untuk nonton di bioskop ahahahaha..... *Maafkan saya, para Bapak Ibu Sineas Indonesia* Meski demikian, ada beberapa hal menarik yang cukup meninggalkan kesan dari film ini, antara lain:

1. Pipin ini, meski bule obsessed, memiliki prinsip no sex before marriage. Sounds like a virginity worshipper, idealisme tinggi dalam menjaga kehormatan diri. Pesan moral yang keren mengingat di sebagian kalangan lokal pun sekarang kayanya kumpul kebo udah gak begitu tabu lagi. *sigh.... Cuman sayangnya, penampilan karakter Pipin bertolak belakang dari prinsip tersebut. Bajunya serba minim dan make upnya menor, seolah mengundang pingin ditowel. Bibirnya juga merah merona nyosor-nyosor. Gesturenya genit, rela dipegang-pegang, dicipok-cipok. Beneran mirip orang jual diri. Sepertinya memang sengaja dibuat begitu. Kalau mengutip dialog Arik, "Ya ayam sori ya, kalo orang liat bentukan lo sih pasti mikirnya lo ayam."




2. LGBT dan pergaulan bebas ditampilkan sebagai hal wajar di sini, berasa agak kontradiktif sama prinsip no sex before marriage di atas. Entah mana yang sebetulnya lebih diberatkan. Kalau lihat siapa produsernya, wajar sih konten tersebut disisipkan. Arik seorang gay, yang katanya gak demen cowok ngondek tapi ternyata berubah melambai ketika bertemu tipe yang disukai. Lalu Mas HQJ yang digambarkan menggandeng wanita bule walking down the aisle tadi ternyata sedang mengantar temannya menikah dengan sesama jenis. Selain itu, Pipin digambarkan tidur seranjang dengan Arik ketika masih awal-awal tiba di Bali, like there's no ethical boundaries ever. Saya belum pernah menemukan semacam itu di film Barat kecuali tokoh-tokohnya memang memiliki hubungan yang sexually intentional. But between friends? Biasanya ada acara gelar kasur meski sekamar.

3.  Idenya aslinya menarik banget tapi penggarapannya nanggung. Ekspresi para pemainnya datar, chemistry antar lakon kurang terasa, dialognya kurang enak dan ditambah lagi adanya selipan-selipan obrolan berbahasa Inggris antar tokoh lokal yang berasa wagu. Scene yang paling enak dinikmati menurut saya hanya ketika Pipin berdialog dengan Arik. Mungkin karena itu relatif paling mudah ditampilkan. Sisanya garing. Bagian-bagian yang semestinya serius dan romantis malah bikin pengen diskip aja.

4. Not visually attractive. Gak ada pemeran yang super cantik maupun super ganteng di sini. So so aja semua. Sebetulnya ini poin bagus banget lho, menyimpang dari pakem perfilman dalam negeri yang demen mengandalkan jualan tampang. Tapi sayangnya jadi gak oke karena kurang didukung kepiawaian lakon-lakonnya dalam berakting. Saya aslinya suka film-film bertema drama yang para pemerannya gak ditampilkan good looking tapi karakter dan ceritanya kuat. Terkadang peran protagonis dan antagonis jadi favorit semua saking kuatnya peran yang dibawakan. Ada yang masih ingat serial Bajaj Bajuri dan Si Doel Anak Sekolahan?

5. Dari banyak pesan yang disampaikan melalui film ini, ada beberapa yang bikin saya bikin manggut-manggut setuju:
- Perempuan mengharap emansipasi tapi masih ingin menikmati privilege kodratnya sebagai perempuan. (Kata Arik)
- Jangan ngoyo cari jodoh. Lebih baik fokus pada pekerjaan dan teman-teman karena siapa tahu yang dicari tahu-tahu muncul atau bahkan sebetulnya selama ini ada dekat kita. (Kata Emaknya Pipin)

Final verdict?
Biasa aja sih. Tapi masih mendingan dibanding nonton FTV karena ide ceritanya original dan lepas dari pakem cantik-ganteng-jelek dan kaya-miskin. Andai pemainnya lebih natural dan gak keminggris mungkin bakal lebih bisa dinikmati. 

No comments:

Post a Comment

[Part 2] Skin Journal, A New Journey - [Review] Laneige Clear-C Advanced Effector EX

Saya menulis part 1-nya ternyata sudah hampir setahun yang lalu. Dan habis itu lama banget ninggalin janji bikin part 2 yang tak kunjung te...